Agama

Lho, KH. Hasyim Asyari Pernah Berfatwa Haji tak Wajib, Alasannya?

Lho, KH. Hasyim Asy’ari Pernah Berfatwa Haji tak Wajib, Alasannya?

KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), dikenal sebagai sosok ulama yang mumpuni. Hal ini dibuktikan dengan gelar yang diraih Mbah Hasyim—sapaan akrab untuk pendiri NU ini— yakni Hadratussyaikh atau Hadratussyekh.

Hadratus Syekh yang artinya 'Maha Guru' menjadi gelar yang diberikan khususnya untuk orang yang benar-benar pantas mendapatkannya. Gelar ini berarti satu tingkat di atas gelar syekh.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Gelar tersebut disandang KH Hasyim Asy'ari sejak dari Makkah. Hal ini dikarenakan keilmuan KH Hasyim Asyari yang multiidisiplin ilmu. Yakni, selain menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam (fikih, tafsir, hadis, tasawuf, Bahasa Arab, dll) secara mendalam, juga hafal kitab-kitab babon (induk) hadits dari Kutubus Sittah yang meliputi Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Bukhori Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah.

Karena kemampuan yang luar biasa inilah, beliau akhirnya dijuluki sebagai Maha Guru. Sampai saat ini, belum ada lagi seseorang yang mendapatkan julukan dengan gelar tersebut.

Sebagai tokoh agama yang luar biasa, maka fatwa dan titah-titahnya sangat dinantikan. Satu hal yang dianggap kontroversi adalah soal haji. Tepatnya musim haji pada masa-masa menjelang kemerdekaan hingga beberapa tahun usai kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.

Dikutip dari situs NU Online, jumlah jamaah Indonesia pada tahun 1941 M sampai 1949 atau 1359 H sampai 1368 H tidak dapat diketahui dengan pasti. Bahkan, dalam catatan Henry Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2019: 72), pada tahun-tahun masih berkecamuk perang dunia ke-2. Kemungkinan yang berangkat haji ada, namun tidak terdata dengan pasti. Selain perang dunia ke-2, salah satu faktornya terkait fatwa KH Hasyim Asy’ari, sebagai pemimpin tertinggi Masyumi mengeluarkan fatwa tidak wajib berhaji di tahun 1947.

“Haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan musuh menyerang untuk menjajah dan merusak agama. Karena itu, tidak wajib pergi haji di mana berlaku fardhu ‘ain bagi umat Islam dalam keadaan melakukan perang melawan penjajahan bangsa dan agama.” (Mursyidi dan Harahap, 1928: 28 dalam Naik Haji di Masa Silam, 2019: 72).

Baca Juga:

Alasan Warga NU Tahlilan

KH Hasyim Asy'ari Tehur Menantunya

Muhammadiyah Juga Tahlilan?

Sebagaimana diketahui, haji merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam, khususnya bagi yang mampu menunaikannya. Kemampuan ini tidak hanya diukur dari kondisi fisik dan finansial (ongkos naik haji) semata, tetapi juga terkait pengetahuan dan keluangan waktu dalam melaksanakannya. Namun sebagaimana ibadah lainnya, hukum berhaji juga dapat berubah sesuai illat atau sebab yang melatarinya.

Keluarnya fatwa dari Kiai Hasyim itu tentu saja bukannya tanpa alasan kuat dan dasar pijakan yang kokoh. Kakek dari Presiden ke-3 RI, Gus Dur, itu melihat hal yang jauh lebih penting ketimbang sekadar melaksanakan ibadah haji yang kemaslahatannya hanya untuk pribadi. Sementara, ada hal yang lebih besar manfaatnya karena bisa dirasakan oleh orang banyak, yaitu kemerdekaan negara Indonesia yang sepenuhnya. Ya, fatwa tidak wajib berhaji itu ditengarai kondisi sosial politik yang mewajibkan umat Islam untuk mengangkat senjata dalam rangka melawan penjajah demi kemerdekaan sepenuhnya untuk negara Indonesia.

Sebagaimana diketahui, pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim yang juga Rais Akbar NU itu mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad yang mewajibkan seluruh umat Islam maju ke medan tempur dalam peperangan pada radius diperbolehkannya shalat untuk di-qashar.

Untuk menghentikan perlawanan perang yang sedemikian kuat, perwakilan Belanda di Indonesia Van der Plas menyediakan fasilitas pemberangkatan haji dan menjamin keamanannya. Tawaran demikian memang menggoda umat Islam Indonesia pada masanya. Karenanya, ada banyak orang juga yang tertarik untuk mendaftarkan dirinya untuk berangkat ke Tanah Suci. Namun, adanya fatwa Kiai Hasyim mengenai tidak wajib berhaji dan fardhu ain berperang membuat tawaran tersebut tidak berarti.

Abdul Mun’im DZ dalam Kiai Hasyim Mengharamkan Haji Politis dalam Fragmen Sejarah NU (2016: 271) mencatat ada dua hal yang menyebabkan pengeluaran fatwa itu. Pertama, Indonesia belum memiliki kapal untuk memberangkatkan rakyatnya berhaji. Jika berhaji dengan menggunakan fasilitas dari Belanda yang notabene adalah penjajah akan memberikan keuntungan bagi mereka dari sisi ekonomi.

Baca Juga:

Alasan Warga NU Tahlilan

KH Hasyim Asy'ari Tehur Menantunya

Muhammadiyah Juga Tahlilan?

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Official Media Yayasan Rumah Berkah Nusantara, part of Republika Network. email: [email protected], Silakan kirimkan info