Performance Wayang Godhong dan Lelakon Ijo Royo-Royo
Performance Wayang Godhong dan Lelakon Ijo Royo-Royo
Agus Purwantoro (65) dikenal dengan Gus Pur, mungkin tak banyak yang mengenalnya. Namun demikian, di daerah kalangan sastrawan dan budayawan, ia dikenal sebagai tokoh terkemuka. Di Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Gus Pur adalah budayawan. Dalam suatu pentas baru-baru ini, Gus Pur memilih daun sebagai media untuk mementaskan pertunjukan wayang sejak tahun 2010.
Bersama daun, Gus Pur menyebarkan kisah-kisah tentang kebajikan dan pesan tentang kehidupan. Tidak hanya sekadar tontonan visual, seni pertunjukan berfungsi sebagai saluran untuk menyampaikan pesan-pesan mendalam yang memiliki kapasitas untuk membangkitkan kesadaran.
Gus Pur intens pentas di banyak tempat, mulai acara di lingkup RT/RW, ruwatan atau bersih desa, hingga acara berskala internasional seperti Wayang Jogja Night Carnival. Tahun 2020 pernah diundang untuk membuka sebuah ajang kesenian internasional di Thailand.
Pentas wayang godhong berbeda dengan pentas wayang kulit, wayang purwa, atau pentas wayang lainnya. Dalam pementasannya, Gus Pur tidak mengubah daun menjadi tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna atau Sukrasana. Agus pun tidak mengambil cerita pewayangan Ramayana ataupun Mahabharata. Ia memilih isu-isu terkini dan menyesuaikannya dengan karakter setiap daun. Ia biasa membuat satu cerita baru untuk setiap pentas.
Makna Godhong
Gus Pur sengaja memilih daun sebagai sarana bertutur karena daun begitu lekat dengan keseharian dan tradisi di masa lalu. Begitu banyak cerita keraifan lokal pun terkait dengan daun. Salah satunya adalah kebiasaan masyarakat Jawa masa lalu saat menggelar hajatan. Mereka kerap memakai empat jenis daun berbeda di tempat beras yang masing-masing mewakili doa dan harapan dari hajatan yang tengah dilaksanakan. Pemakaian daun menunjukkan totalitas dan kesungguhan warga dalam berdoa.
Dengan menceritakan semua fungsi dan manfaat daun, dia berharap dapat membangkitkan rasa sayang dan kecintaan masyarakat terhadap daun dan tumbuhan yang ada di alam. Seiring dengan itu, dia pun berkeinginan agar cerita-cerita yang disampaikan perlahan dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan serta kepedulian mendalam terhadap kelangsungan hidup tanaman.
Sebelum melakukan di alam lingkungan yang lebih luas, dia berharap orang terlebih dahulu peduli untuk merawat tanaman di rumahnya. Jangan biarkan tanaman mati begitu saja. “Manusia bisa meminta tolong pada daun asalkan manusia mau merawat tanaman yang bermakna juga merawat kehidupan,” ujarnya.
Sekalipun yang dipentaskan adalah cerita karangan sendiri, bukan berarti kisah itu dibuat asal-asalan. Seminggu sebelum pentas, Agus biasanya sudah melakukan riset terlebih dahulu. Dia biasanya mencari informasi apakah di daerah yang menjadi lokasi pentas ada mata air atau tidak, apakah ada situs, makam keramat, dan apa profesi mayoritas warga di sana. Hasil riset itulah yang kemudian dikolaborasikan dengan cerita tentang manfaat daun-daun yang dibawa.
Seiring dengan kebutuhan dan semakin tingginya intensitas pentas, Agus pun terus memperdalam pengetahuannya. Kini, dia sudah memiliki pengetahuan dan informasi menyangkut karakter dari ratusan daun. Semua informasi itu diperoleh dari warga, sesepuh, dan tokoh masyarakat di desa-desa.