Pentingnya Penguatan Dai di Masa Depan
Pentingnya Penguatan Dai di Masa Depan
Oleh Ummu Ahya Giyantie
Tanggal 20 Agustus 2024 tidak saja menjadi momen penting bagi 140 wisudawan STID Mohammad Natsir yang diwisuda pada Selasa (20/08/2024) itu, di gedung Menara Dakwah DDII. Peristiwa penting lainnya bagi STID, 20 Agustus 2024 menjadi refleksi kiprahnya selama ini. Di usianya yang sudah seperempat abad, pergerakan sekolah dakwah ini mengalami pasang surut sebagaimana lembaga pendidikan Islam lainnya.
Sejarah berdirinya kampus dakwah ini juga melalui berbagai tahap yang berliku menyesuaikan dengan kebutuhan dakwah di masyarakat. Ide awal dari pendirian kampus ini adalah didirikannya.
Program Kaderisasi Dai yang fokusnya mengirimkan ke pedalaman, perbatasan, daerah minoritas, suku terasing, dan daerah transmigrasi. Program ini diperkuat dengan mendirikan dua lembaga pendidikan nonformal yatu Akademi Bahasa Arab (AKBAR) dan Lembaga Pendidikan Dakwah islam tahun 1986. Perjalanan berikutnya di tahun 1998 diputuskan berdirinya LPDI. Perubahan berikutnya di tanggal 11 November 1999 dikonversi menjadi Universitas Mohammad Natsir (UNIM), tidak lama berselang berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Mohammad Natsir. Pada akhirnya untuk memenuhi regulasi pemerintah STAI berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir pada tahun 2005.
Dalam sambutannya, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini, M.Si menyatakan bahwa pendidikan dai yang menjadi titik tekan STID Mohammad Natsir sudah benar. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa ada dai yang mati kelaparan. Ini perlu menjadi modalitas utama para wisudawan dan wisudawati untuk tidak takut menjadi dai.
Di usianya yang ke-25, tepatnya di wisuda ke-14, tercatat lembaga ini telah meluluskan 1.083 dai yang tersebar di 32 provinsi. Secara kuantitas di rentang usia yang cukup panjang tersebut, angka ini terbilang kecil. Namun jika dikembalikan pada tujuan didirikannya lembaga pendidikan ini yaitu ‘sebagai wahana kaderisasi dakwah ilallah untuk memenuhi keperluan kader dai di pusat maupun daerah’ tentu tidak serta merta dikecilkan.
Sebagai kampus dakwah dan kaderisasi, tentunya STID Mohammad Natsir tidak sekadar bermain dan berorientasi pada jumlah. Yang menjadi titik tekan kampus ini adalah bagaimana melahirkan kader-kader dai yang siap diterjunkan ke titik-titik yang sudah atau belum pernah tersentuh dengan dakwah, dalam konsepsi pemerintah dikenal dengan kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Tentu ini membutukkan proses yang tidak mudah. Itulah sebabnya STID Mohammad Natsir selain mengajarkan ilmu-ilmu yang menjadi matrikulasi jurusan terkait, mahasiswa-mahasiswi juga diberikan praktik langsung lapangan.
Ketua STID Mohammad Natsir, Dr. Dwi Budiman Assiroji, M.Pd.I menjelaskan bahwa program penunjang yang wajid diikuti mahasiswa antara lain kegiatan Komunitas Pecinta Masjid, Komunitas Pecinta Majelis Taklim (KPMT), LTQ, Kafilah Dakwah, Pengabdian Dakwah di 130 titik.
Seiring berjalannya waktu, para alumni yang tersebar di berbagai daerah ini senantiasa menjadikan aktivitas utamanya adalah berdakwah, selain tentunya mengambil pekerjaan-pekerjaan lain baik di bidang pendidikan, bisnis, politik, membina kawasan pedalaman, hingga pejabat pemerintah daerah. Namun apapun bidang yang ditekuni, dalam testimoni alumni lintas generasi yang telah tersebar tersebut pada dasarnya selalu membingkai semua kegiatannya dengan dakwah.
Testimoni serta pesan yang diberikan para alumni menjadi bagian agar tidak terputus mata rantai perjuangan dakwah. Komunikasi lintas generasi menjadi hal yang penting guna mengembangkan dakwah ke depan.
Poin ini pula yang menjadi closing statemen dari wisudawan, akhina Jamaludin, “Teruntuk wisudawan-wisudawati, ingatlah empat hal pesan terakhir saya. Tetap pada 4T, tatap masa depan dakwah yang panjang, titip doa-doa terbaik, tutup aib masa lalu, dan tetap istiqamah dalam dakwah.