Muhammadiyah tak Pernah Melarang Orang Bertahlil

Agama  

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illallaah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan. Rasul SAW besabda: “Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik).

Berdasarkan keterangan di atas, maka memperbanyak tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, bahkan dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian.

Meski demikian, jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal saleh, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Sebab tahlil harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal saleh sebanyak-banyaknya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Warga Muhammadiyah memang tidak melazimkan tradisi tahlilan seperti warga NU yang mengirimkan doa untuk mayit pada hari-hari tertentu. Menurut mereka, hal itu tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang ialah upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau 40 hari atau 100 hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi SAW untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS. Al Baqarah ayat 208.

Fatwa Tarjih menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syariat Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lainnya.

Bahkan, menyikapi informasi yang beredar, Ketua Umum PP Muhamamdiyah Prof Haedar Nashir, sebagaimana dikutip dari suaramuhammadiyah.com dikatakan:

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Official Media Yayasan Rumah Berkah Nusantara, part of Republika Network. email: [email protected], Silakan kirimkan inf

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image